Tjokorda Raka Sukawati
Diposting oleh Bayu M Martendreck Selasa, 08 Februari 2011 pukul 12.13 0 commentsIr. Tjokorda Raka Sukawati (lahir di Ubud, Bali pada 3 Mei 1931) adalah seorang insinyur Indonesia yang menemukan konstruksi Sosrobahu, yang memudahkan pembangunan jalan layang tanpa mengganggu arus lalu lintas pada saat pembangunannya.
Tjokorda meraih gelar Insinyur bidang Teknik Sipil di Institut Teknologi Bandung 1962, dan memperoleh gelar Doktor dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 1996.
Beliau meniti karier di PT. Hutama Karya yang bergerak dibidang jasa konstruksi dan infrasruktur, merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Departemen Pekerjaan Umum (PU). Ketika menggarap proyek jalan layang antara Cawang dengan Tanjung Priok di Jakarta itulah teknologi Sosrobahu ditemukan.
Sebenarnya temuannya belum diuji secara khusus di laboratorium saat dipraktekkan. Namun ia merasa yakin temuannya bisa bekerja sesuai rumusan ilmiah yang ada. Bahkan sebelum temuannya dipraktekkan, beliau yang menganut agama Hindu yang taat itu menyempatkan diri bersembahyang di atas konstruksi itu. Ia terbilang nekad saat itu, dengan mengatakan bahwa ia bersedia mundur dari direktur PT. Hutama Karya kepada menteri Pekerjaan Umum saat itu, bila temuannya itu ternyata tidak bisa bekerja. Namun ternyata temuan Sosrobahu itu dapat bekerja sebagaimana mestinya tanpa kurang suatu apa pun.
Dia mengatakan bahwa temuan itu 80% atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Bahkan angka tekanan 78 kg/cm² yang ditetapkan dalam teknologi temuannya itu, sebenarnya angka misterius bagi beliau, entah dari mana saat itu beliau menetapkan angka wangsit itu, tetapi berhasil bahkan para insinyur Amerika Serikat yang mengerjakan jalan layang di Seattle begitu taat dengan ketetapan 78 kg/cm² itu. Belakangan, setelah diketahui di laboratorium yang kemudian dibangunnya sendiri itu, didapatkan hasil perhitungan berupa ketetapan sebesar 78,05 kg/cm². Persis sama dengan ketetapan angka wangsit tadi.
Di ujung kariernya di PT. Hutama Karya, Tjokorda terseret persoalan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang menimpa perusahaan konstruksi itu. Tjokorda harus berurusan dengan masalah commercial paper, hal yang asing bagi seorang insinyur seperti dirinya. Ia sempat berurusan dengan pengadilan. Kasus ini terkuat menyusul krisis finansial Asia yang membuat banyak perusahaan konstruksi terkena masalah.
Tjokorda Raka Sukawati, yang juga pendiri Fakultas Teknik Universitas Udayana, telah pensiun dari PT. Hutama Karya, namun masih tetap berkarya bahkan menghasilkan teknologi sosrobahu versi kedua yang lebih unggul soal kepraktisan dibandingkan versi sebelumnya. Kini beliau tinggal di kampung halamannya di Ubud, Bali dengan mengajar di jenjang Pascasarjana Bidang Teknik Sipil Universitas Udayana.
Sejarah Sosrobahu
Diposting oleh Bayu M Martendreck Jumat, 04 Februari 2011 pukul 01.02 0 comments
Teknik Sosrobahu merupakan teknik konstruksi yang digunakan terutama untuk memutar bahu lengan beton jalan layang dan ditemukan oleh Tjokorda Raka Sukawati. Dengan teknik ini, lengan jalan layang diletakkan sejajar dengan jalan di bawahnya, dan kemudian diputar 90° sehingga pembangunannya tidak mengganggu arus lalu lintas di jalanan di bawahnya.
Teknik ini dianggap sangat membantu dalam membuat jalan layang di kota-kota besar yang jelas memiliki kendala yakni terbatasnya ruang kota yang diberikan, terutama saat pengerjaan konstruksi serta kegiatan pembangunan infrastrukturnya tidak boleh mengganggu kegiatan masyarakat kota khususnya arus lalu-lintas dan kendaraan yang tidak mungkin dihentikan hanya karena alasan pembangunan jalan.
Gambar. Tjokorda Raka Sukawati
Latar belakang
Pada tahun 1980-an, Jakarta yang memang sudah mengalami kendala kemacetan lalu lintas, banyak membangun jalan layang sebagai salah satu solusi meningkatkan infrastruktur lalu-lintas. Sebagai kontraktor saat itu, PT. Hutama Karya mendapatkan order membangun jalan raya di atas jalan by pass A. Yani di mana pembangunannya harus memastikan bahwa jalan itu harus tetap berfungsi.
Dengan permasalahan tersebut, para direksi Hutama Karya berdiskusi setelah mendapatkan order membangun jalan layang antara Cawang sampai Tanjung Priok sekitar tahun 1987. Persoalan rumit diurai, yang diperlukan untuk menyangga badan jalan itu adalah deretan tiang beton, satu-sama lain berjarak 30 meter, di atasnya membentang tiang beton selebar 22 meter. Batang vertikalnya (pier shaft) berbentuk segi enam bergaris tengah 4 meter, berdiri di jalur hijau. Hal ini tidak sulit, yang merepotkon adalah mengecor lengannya (pier head). Jika dengan cara konvensional, yang dilakukan adalah memasang besi penyangga (bekesting) di bawah bentangan lengan itu, tetapi bekesting itu akan menyumbat jalan raya di bawahnya. Cara lain adalah dengan bekesting gantung tetapi membutuhkan biaya lebih mahal.
Di tengah masalah itu, Ir. Tjokorda Raka Sukawati mengajukan gagasan dengan membangun tiangnya dulu dan kemudian mengecor lengannya dalam posisi sejajar dengan jalur hijau, setelah itu diputar membentuk bahu. Hanya saja kendalanya adalah bagaimana cara memutarnya karena lengan itu nantinya seberat 480 ton.
Inspirasi dari dongkrak hidrolik mobil
Ketika Tjokorda memperbaiki kendaraannya, hidung mobil Mercedes buatan 1974-nya diangkat dengan dongkrak sehingga dua roda belakang bertumpu di lantai yang licin karena ceceran tumpahan oli secara tidak sengaja. Begitu mobil itu tersentuh, badan mobil berputar dengan sumbu batang dongkrak. Satu hal yang ia catat, dalam ilmu fisika dengan meniadakan gaya geseknya, benda seberat apa pun akan mudah digeser. Kejadian tadi memberikan inspirasi bahwa pompa hidrolik bisa dipakai untuk mengangkat benda berat dan bila bertumpu pada permukaan yang licin, benda tersebut mudah digeser. Bayangan Tjokorda adalah menggeser lengan beton seberat 480 ton itu.
Kemudian Tjokorda membuat percobaan dengan membuat silinder bergaris tengah 20 cm yang dibuat sebagai dongkrak hidrolik dan ditindih beban beton seberat 80 ton. Hasilnya bisa diangkat dan dapat berputar sedikit tetapi tidak bisa turun ketika dilepas. Ternyata dongkrak tersebut miring posisinya. Tjokorda kemudian menyempurnakannya. Posisinya ditentukan persis di titik berat lengan beton di atasnya.
Untuk membuat rancangan yang pas, dasar utama Hukum Pascal yang menyatakan: "Bila zat cair pada ruang tertutup diberikan tekanan, maka tekanan akan diteruskan segala arah". Zat cair yang digunakan adalah minyak oli (minyak pelumas). Bila tekanan P dimasukkan dalam ruang seluas A, maka akan menimbulkan gaya (F) sebesar P dikalikan A. Rumus itu digabungkan dengan beberapa parameter dan memberikan nama Rumus Sukawati, sesuai namanya. Rumus ini orisinil idenya karena sampai saat itu belum ada buku yang membahasnya sebab memang tidak ada kebutuhannya.
Masalah lain yang muncul ada variabelnya yang mempengaruhinya, di antaranya adalah jenis minyak yang digunakan yang tidak boleh rusak kekentalannya (viskositas). Urusan minyak menjadi hal yang krusial karena minyak inilah yang meneruskan tekanan untuk mengangkat beton yang berat itu.
Setelah semua selesai, Tjokorda mengerjakan rancangan finalnya yakni sebuah landasan putar untuk lengan beton yang dinamai Landasan Putar Bebas Hambatan (LBPH). Bentuknya dua piringan (cakram) besi bergaris tengah 80 cm yang saling menangkup. Meski tebalnya 5 cm, piring dari besi cor FCD-50 itu mampu menahan beban 625 ton.
Ke dalam ruang di antara kedua piringan itu dipompakan minyak oli. Sebuah seal (penutup) karet menyekat rongga di antara tepian piring besi itu untuk menjaga minyak tak terdorong keluar, meski dalam tekanan tinggi. Lewat pipa kecil, minyak dalam tangkupan piring itu dihubungkan dengan sebuah pompoa hidrolik. Sistem hidrolik itu mampu mengangkat beban beban ketika diberikan tekanan 78 kg/cm2. Angka ini sebenarnya angka misteri bagi Tjokorda saat itu.
Uji coba langsung di lapangan
Secara teknik penemuan itu belum diuji coba karena waktu yang terbatas, namun ia yakin temuannya itu bisa bekerja. Tjokorda bahkan berani bertanggungjawab bila lengan beton jalan layang itu tidak bisa berputar.
Pada tanggal 27 Juli 1988 pukul 10 malam waktu setempat (Jakarta), pompa hidrolik dioperasikan hingga titik tekan 78 kg/cm2. Lengan pier head itu, meskipun bekesting-nya telah dilepas, mengambang di atas atap pier shaft lalu dengan dorongan ringan sedikit saja, lengan beton raksasa itu berputar 90 derajat.
Ketika pier shaft itu sudah dalam posisi sempurna, secara perlahan minyak dipompa keluar dan lengan beton itumerapat ke tiangnya. Sistem LPBH itu dimatikan sehingga perlu alat berat untuk menggesernya. Namun demikian karena khawatir kontruksi itu bergeser, Tjokorda memancang delapan batang besi berdiameter 3,6 cm untuk memaku pier head ke pier shaft lewat lubang yang telah disiapkan. Kemudian satu demi satu alat LBPH itu diterapkan pada kontruksi beton lengan jembatan layang yang lain.
Penamaan Sosrobahu dan pemberian paten
Pada pemasangan ke-85, awal November 1989, Presiden Soeharto ikut menyaksikannya dan memberi nama teknologi itu Sosrobahu yang diambil dari nama tokoh cerita sisipan Mahabharata. Sejak itu LBPH tersebut dikenal sebagai Teknologi Sosrobahu.
Temuan Tjokorda digunakan insinyur Amerika Serikat dalam membangun jembatan di Seattle. Mereka bahkan patuh pada tekanan minyak 78 kg/cm2 yang menurut Tjokorda adalah misteri ketika menemukan alat LBPH Sosrobahu itu. Tjokorda kemudian membangun laboratorium sendiri dan melakukan penelitian dan hasilnya berupa perhitungan susulan dengan angka teknis tekanan 78,05 kg/cm2, nyaris persis sama dengan angka wangsit yang diperolehnya sebelum itu.
Hak paten yang diterima adalah dari pemerintah Jepang, Malaysia, Filipina. Dari Indonesia, Dirjen Hak Cipta Paten dan Merek mengeluarkan patennya pada tahun 1995 sedangkan Jepang memberinya pada tahun 1992. Saat ini teknologi Sosrobahu sudah diekspor ke Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura. Salah satu jalan layang terpanjang di Metro Manila, yakni ruas Vilamore-Bicutan adalah buah karya teknik ciptaan Tjokorda. Di Filipina teknologi Sosrobahu diterapkan untuk 298 tiang jalan. Sedangkan di Kuala Lumpur sebanyak 135. Saat teknologi Sosrobahu diterapkan di Filipina, Presiden Filipina Fidel Ramos berujar, "Inilah temuan Indonesia, sekaligus buah ciptaan putra ASEAN". Sementara Korea Selatan masih bersikeras ingin membeli hak patennya.
Teknologi Sosrobahu ini dikembangkan menjadi versi ke-2. Bila pada versi pertama memakai angker (jangkar) baja yang disusupkan ke beton, versi keduanya hanya memasang kupingan yang berlubang di tengah. Lebih sederhana dan bahkan hanya memerlukan waktu kurang lebih 45 menit dibandingkan dengan yang pertama membutuhkan waktu dua hari. Dalam hitungan eksak, konstruksi Sosrobahu akan bertahan hingga 100 tahun (1 abad).
Menurut Dr. Drajat Hoedajanto pakar struktur dari Institut Teknologi Bandung, Sosrobahu pada dasarnya hanya metode sangat sederhana untuk pelaksanaannya (memutar bahu lengan beton jalan layang). Sistem ini cocok dipakai pada elevated toll road (jalan tol layang dalam kota) yang biasanya mengalami kendala lalu lintas dibawahnya yang pada. Sosrobahu terbukti bermanfaat dalam proses pembangunan jalan layang, sangat aplikatif, teruji baik teknis dan ekonomis.
Teknik ini dianggap sangat membantu dalam membuat jalan layang di kota-kota besar yang jelas memiliki kendala yakni terbatasnya ruang kota yang diberikan, terutama saat pengerjaan konstruksi serta kegiatan pembangunan infrastrukturnya tidak boleh mengganggu kegiatan masyarakat kota khususnya arus lalu-lintas dan kendaraan yang tidak mungkin dihentikan hanya karena alasan pembangunan jalan.
Gambar. Tjokorda Raka Sukawati
Latar belakang
Pada tahun 1980-an, Jakarta yang memang sudah mengalami kendala kemacetan lalu lintas, banyak membangun jalan layang sebagai salah satu solusi meningkatkan infrastruktur lalu-lintas. Sebagai kontraktor saat itu, PT. Hutama Karya mendapatkan order membangun jalan raya di atas jalan by pass A. Yani di mana pembangunannya harus memastikan bahwa jalan itu harus tetap berfungsi.
Dengan permasalahan tersebut, para direksi Hutama Karya berdiskusi setelah mendapatkan order membangun jalan layang antara Cawang sampai Tanjung Priok sekitar tahun 1987. Persoalan rumit diurai, yang diperlukan untuk menyangga badan jalan itu adalah deretan tiang beton, satu-sama lain berjarak 30 meter, di atasnya membentang tiang beton selebar 22 meter. Batang vertikalnya (pier shaft) berbentuk segi enam bergaris tengah 4 meter, berdiri di jalur hijau. Hal ini tidak sulit, yang merepotkon adalah mengecor lengannya (pier head). Jika dengan cara konvensional, yang dilakukan adalah memasang besi penyangga (bekesting) di bawah bentangan lengan itu, tetapi bekesting itu akan menyumbat jalan raya di bawahnya. Cara lain adalah dengan bekesting gantung tetapi membutuhkan biaya lebih mahal.
Di tengah masalah itu, Ir. Tjokorda Raka Sukawati mengajukan gagasan dengan membangun tiangnya dulu dan kemudian mengecor lengannya dalam posisi sejajar dengan jalur hijau, setelah itu diputar membentuk bahu. Hanya saja kendalanya adalah bagaimana cara memutarnya karena lengan itu nantinya seberat 480 ton.
Inspirasi dari dongkrak hidrolik mobil
Ketika Tjokorda memperbaiki kendaraannya, hidung mobil Mercedes buatan 1974-nya diangkat dengan dongkrak sehingga dua roda belakang bertumpu di lantai yang licin karena ceceran tumpahan oli secara tidak sengaja. Begitu mobil itu tersentuh, badan mobil berputar dengan sumbu batang dongkrak. Satu hal yang ia catat, dalam ilmu fisika dengan meniadakan gaya geseknya, benda seberat apa pun akan mudah digeser. Kejadian tadi memberikan inspirasi bahwa pompa hidrolik bisa dipakai untuk mengangkat benda berat dan bila bertumpu pada permukaan yang licin, benda tersebut mudah digeser. Bayangan Tjokorda adalah menggeser lengan beton seberat 480 ton itu.
Kemudian Tjokorda membuat percobaan dengan membuat silinder bergaris tengah 20 cm yang dibuat sebagai dongkrak hidrolik dan ditindih beban beton seberat 80 ton. Hasilnya bisa diangkat dan dapat berputar sedikit tetapi tidak bisa turun ketika dilepas. Ternyata dongkrak tersebut miring posisinya. Tjokorda kemudian menyempurnakannya. Posisinya ditentukan persis di titik berat lengan beton di atasnya.
Untuk membuat rancangan yang pas, dasar utama Hukum Pascal yang menyatakan: "Bila zat cair pada ruang tertutup diberikan tekanan, maka tekanan akan diteruskan segala arah". Zat cair yang digunakan adalah minyak oli (minyak pelumas). Bila tekanan P dimasukkan dalam ruang seluas A, maka akan menimbulkan gaya (F) sebesar P dikalikan A. Rumus itu digabungkan dengan beberapa parameter dan memberikan nama Rumus Sukawati, sesuai namanya. Rumus ini orisinil idenya karena sampai saat itu belum ada buku yang membahasnya sebab memang tidak ada kebutuhannya.
Masalah lain yang muncul ada variabelnya yang mempengaruhinya, di antaranya adalah jenis minyak yang digunakan yang tidak boleh rusak kekentalannya (viskositas). Urusan minyak menjadi hal yang krusial karena minyak inilah yang meneruskan tekanan untuk mengangkat beton yang berat itu.
Setelah semua selesai, Tjokorda mengerjakan rancangan finalnya yakni sebuah landasan putar untuk lengan beton yang dinamai Landasan Putar Bebas Hambatan (LBPH). Bentuknya dua piringan (cakram) besi bergaris tengah 80 cm yang saling menangkup. Meski tebalnya 5 cm, piring dari besi cor FCD-50 itu mampu menahan beban 625 ton.
Ke dalam ruang di antara kedua piringan itu dipompakan minyak oli. Sebuah seal (penutup) karet menyekat rongga di antara tepian piring besi itu untuk menjaga minyak tak terdorong keluar, meski dalam tekanan tinggi. Lewat pipa kecil, minyak dalam tangkupan piring itu dihubungkan dengan sebuah pompoa hidrolik. Sistem hidrolik itu mampu mengangkat beban beban ketika diberikan tekanan 78 kg/cm2. Angka ini sebenarnya angka misteri bagi Tjokorda saat itu.
Uji coba langsung di lapangan
Secara teknik penemuan itu belum diuji coba karena waktu yang terbatas, namun ia yakin temuannya itu bisa bekerja. Tjokorda bahkan berani bertanggungjawab bila lengan beton jalan layang itu tidak bisa berputar.
Pada tanggal 27 Juli 1988 pukul 10 malam waktu setempat (Jakarta), pompa hidrolik dioperasikan hingga titik tekan 78 kg/cm2. Lengan pier head itu, meskipun bekesting-nya telah dilepas, mengambang di atas atap pier shaft lalu dengan dorongan ringan sedikit saja, lengan beton raksasa itu berputar 90 derajat.
Ketika pier shaft itu sudah dalam posisi sempurna, secara perlahan minyak dipompa keluar dan lengan beton itumerapat ke tiangnya. Sistem LPBH itu dimatikan sehingga perlu alat berat untuk menggesernya. Namun demikian karena khawatir kontruksi itu bergeser, Tjokorda memancang delapan batang besi berdiameter 3,6 cm untuk memaku pier head ke pier shaft lewat lubang yang telah disiapkan. Kemudian satu demi satu alat LBPH itu diterapkan pada kontruksi beton lengan jembatan layang yang lain.
Penamaan Sosrobahu dan pemberian paten
Pada pemasangan ke-85, awal November 1989, Presiden Soeharto ikut menyaksikannya dan memberi nama teknologi itu Sosrobahu yang diambil dari nama tokoh cerita sisipan Mahabharata. Sejak itu LBPH tersebut dikenal sebagai Teknologi Sosrobahu.
Temuan Tjokorda digunakan insinyur Amerika Serikat dalam membangun jembatan di Seattle. Mereka bahkan patuh pada tekanan minyak 78 kg/cm2 yang menurut Tjokorda adalah misteri ketika menemukan alat LBPH Sosrobahu itu. Tjokorda kemudian membangun laboratorium sendiri dan melakukan penelitian dan hasilnya berupa perhitungan susulan dengan angka teknis tekanan 78,05 kg/cm2, nyaris persis sama dengan angka wangsit yang diperolehnya sebelum itu.
Hak paten yang diterima adalah dari pemerintah Jepang, Malaysia, Filipina. Dari Indonesia, Dirjen Hak Cipta Paten dan Merek mengeluarkan patennya pada tahun 1995 sedangkan Jepang memberinya pada tahun 1992. Saat ini teknologi Sosrobahu sudah diekspor ke Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura. Salah satu jalan layang terpanjang di Metro Manila, yakni ruas Vilamore-Bicutan adalah buah karya teknik ciptaan Tjokorda. Di Filipina teknologi Sosrobahu diterapkan untuk 298 tiang jalan. Sedangkan di Kuala Lumpur sebanyak 135. Saat teknologi Sosrobahu diterapkan di Filipina, Presiden Filipina Fidel Ramos berujar, "Inilah temuan Indonesia, sekaligus buah ciptaan putra ASEAN". Sementara Korea Selatan masih bersikeras ingin membeli hak patennya.
Teknologi Sosrobahu ini dikembangkan menjadi versi ke-2. Bila pada versi pertama memakai angker (jangkar) baja yang disusupkan ke beton, versi keduanya hanya memasang kupingan yang berlubang di tengah. Lebih sederhana dan bahkan hanya memerlukan waktu kurang lebih 45 menit dibandingkan dengan yang pertama membutuhkan waktu dua hari. Dalam hitungan eksak, konstruksi Sosrobahu akan bertahan hingga 100 tahun (1 abad).
Menurut Dr. Drajat Hoedajanto pakar struktur dari Institut Teknologi Bandung, Sosrobahu pada dasarnya hanya metode sangat sederhana untuk pelaksanaannya (memutar bahu lengan beton jalan layang). Sistem ini cocok dipakai pada elevated toll road (jalan tol layang dalam kota) yang biasanya mengalami kendala lalu lintas dibawahnya yang pada. Sosrobahu terbukti bermanfaat dalam proses pembangunan jalan layang, sangat aplikatif, teruji baik teknis dan ekonomis.
Profil Himpunan Teknik Sipil dan Lingkungan (Himatesil), Institut Pertanian Bogor
Diposting oleh Bayu M Martendreck Rabu, 02 Februari 2011 pukul 20.34 0 comments
Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan ( Himatesil) . Diawali dengan terbentuknya tim formatur yang terdiri dari 13 orang. Dalam jangka waktu 6 bulan, yaitu dimulai dari bulan september hingga februari. Akhirnya berdiri Himatesil pada tanggal 18 Februari 2010 .
Lambang Himatesil Fateta IPB mempunyai arti sebagai berikut :
1. Logo Himpro Himatesil dibuat sekaku mungkin, dengan mengurangi lengkungan-lengkungan pada tiap garis. Hal ini merepresentasikan salah satu syarat konstruksi bahwa konstruksi harus bersifat kaku sehingga konstruksi menjadi kuat. Artinya, Himatesil merupakan himpro yang memiliki struktur yang kuat, dipimpin oleh kepengurusan yang kompeten dan memiliki jiwa persatuan dan kesatuan yang menyatu di dalam keanggotaan Himatesil, tidak mudah goyah dan putus asa dalam menghadapi masalah, saling bekerja sama dan “menopang” satu sama lain layaknya sebuah struktur konstruksi untuk mewujudkan sebuah himpro yang kuat dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
2. Logo Himatesil berwarna merah semua dan tidak menggunakan warna selain merah menggambarkan bahwa Himatesil merupakan himpro yang berada dalam lingkup Fateta dan sebagai wujud solidaritas terhadap himpro-himpro lain di Fateta. Warna merah ini juga mencerminkan sikap berani dan pantang menyerah para anggota Himatesil dalam menghadapi persoalan-persoalan di bidang Teknik sipil dan Lingkungan.
3. Logo Himatesil yang utama adalah segi delapan (oktagonal) yang ada di dalam lingkaran. Oktagonal ini dikelilingi oleh lingkaran yang melambangkan ilmu di bidang Teknik Sipil dan Lingkungan selalu berkembang dan tidak memiliki batas ilmu. Artinya, Himatesil sebagai himpro akan terus berusaha memajukan ilmu pengetahuan tanpa henti untuk kepentingan mahasiswa, universitas, bangsa dan negara.
4. Bentuk Oktagonal yang berada di dalam lingkaran merepresentasikan kepala dari paku keling, dimana paku keling merupakan bahan yang identik dengan dunia Teknik Sipil. Bagian terpenting dari sebuah paku adalah kepalanya. Apabila paku tanpa kepala, maka paku tersebut tidak dapat digunakan. Keberadaan kepala paku sangat vital dalam penggunaannya. Artinya, Himatesil merupakan himpunan mahasiswa yang utama dan berperan penting dalam memajukan dunia teknik sipil di lingkar kampus pada khususnya dan di masyarakat pada umumnya serta menjadi sarana pembelajaran utama bagi para mahasiswa dan anggotanya.
5. Huruf SIL merupakan singkatan dari jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan. Di tiap hurufnya melambangkan sub-departemen dari Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Hal ini menunjukkan Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan IPB memililki cakupan ilmu yang luas dan tidak hanya mempelajari di bidang bangunannya saja.
6. Huruf S dengan sebuah keran air yang meneteskan air, gambar ini menyerupai sebuah pipa melengkung dengan keran air sebagai hilirnya. Hal ini melambangkan sub-departemen Teknik dan Sumberdaya Air. Huruf I dibuat menyerupai sebuah theodolit yang melambangkan sub-departemen Teknik Geomatika. Huruf L meyerupai sebuah bangunan berbentuk L dengan batu bata sebagai bahannya melambangkan sub-departemen Teknik Struktur dan Infrastruktur.
7. Gambar gelombang air yang berada di bawah huruf SIL menyerupai gelombang air permukaan, baik itu sungai, danau atau laut melambangkan sub-departemen Teknik Lingkungan.
8. Huruf SIL dan gelombang air dinaungi oleh sebuah konstruksi rumah yang belum selesai dan terdiri dari truss (atap) dan ditopang oleh dua kolom mempunyai arti bahwa ilmu-ilmu yang dipelajari di tiap sub-departemen berada dalam satu kesatuan, yaitu Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan. Himatesil sebagai himpro berusaha melengkapi dan menyempurnakan “konstruksi yang belum selesai” tersebut. Artinya, Himatesil berusaha melengkapi dan menyempurnakan ilmu-ilmu yang didapat dari perkuliahan dan digunakan secara bersama-sama sebagai sarana belajar alternatif bagi kepentingan mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan.
9. Lingkaran luar mempunyai dua arti. Pertama, lingkaran diberi tulisan “HIMATESIL” diatas dan “INSTITUT PERTANIAN BOGOR” sebagai identitas bahwa himpro ini bernama HIMATESIL dan berada dalam naungan Institut Pertanian Bogor. Arti kedua, lingkaran tersebut seolah-olah menaungi oktagonal (dimana isi dari oktagonal melambangkan ilmu dari tiap sub-departemen). Dalam lingkaran tersebut, tertulis “HIMATESIL” dan “INSTITUT PERTANIAN BOGOR”. Artinya, Himatesil sebagai himpro memusatkan kegiatan yang berhubungan dengan Teknik Sipil dan Lingkungan dan bekerja sama dengan IPB dalam memajukan ilmu di Bidang Teknik Sipil dan Lingkungan.
10. Dua buah oktagonal kecil di dalam lingkaran di sebelah kiri dan kanan merepresentasikan kepala paku keling kecil. Kedua oktagonal kecil ini berada di luar oktagonal utama mempunyai arti bahwa Himatesil tidak hanya memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan teknik sipil dan lingkungan di lingkar departemen dan lingkar kampus saja, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan teknik sipil dan lingkungan pada khususnya dan kegiatan lain pada umumnya di luar departemen dan di luar kampus.
Sumber: http://himatesil.ipb.ac.id/index.php/profil-himatesil.html
Lambang Himatesil Fateta IPB mempunyai arti sebagai berikut :
1. Logo Himpro Himatesil dibuat sekaku mungkin, dengan mengurangi lengkungan-lengkungan pada tiap garis. Hal ini merepresentasikan salah satu syarat konstruksi bahwa konstruksi harus bersifat kaku sehingga konstruksi menjadi kuat. Artinya, Himatesil merupakan himpro yang memiliki struktur yang kuat, dipimpin oleh kepengurusan yang kompeten dan memiliki jiwa persatuan dan kesatuan yang menyatu di dalam keanggotaan Himatesil, tidak mudah goyah dan putus asa dalam menghadapi masalah, saling bekerja sama dan “menopang” satu sama lain layaknya sebuah struktur konstruksi untuk mewujudkan sebuah himpro yang kuat dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
2. Logo Himatesil berwarna merah semua dan tidak menggunakan warna selain merah menggambarkan bahwa Himatesil merupakan himpro yang berada dalam lingkup Fateta dan sebagai wujud solidaritas terhadap himpro-himpro lain di Fateta. Warna merah ini juga mencerminkan sikap berani dan pantang menyerah para anggota Himatesil dalam menghadapi persoalan-persoalan di bidang Teknik sipil dan Lingkungan.
3. Logo Himatesil yang utama adalah segi delapan (oktagonal) yang ada di dalam lingkaran. Oktagonal ini dikelilingi oleh lingkaran yang melambangkan ilmu di bidang Teknik Sipil dan Lingkungan selalu berkembang dan tidak memiliki batas ilmu. Artinya, Himatesil sebagai himpro akan terus berusaha memajukan ilmu pengetahuan tanpa henti untuk kepentingan mahasiswa, universitas, bangsa dan negara.
4. Bentuk Oktagonal yang berada di dalam lingkaran merepresentasikan kepala dari paku keling, dimana paku keling merupakan bahan yang identik dengan dunia Teknik Sipil. Bagian terpenting dari sebuah paku adalah kepalanya. Apabila paku tanpa kepala, maka paku tersebut tidak dapat digunakan. Keberadaan kepala paku sangat vital dalam penggunaannya. Artinya, Himatesil merupakan himpunan mahasiswa yang utama dan berperan penting dalam memajukan dunia teknik sipil di lingkar kampus pada khususnya dan di masyarakat pada umumnya serta menjadi sarana pembelajaran utama bagi para mahasiswa dan anggotanya.
5. Huruf SIL merupakan singkatan dari jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan. Di tiap hurufnya melambangkan sub-departemen dari Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Hal ini menunjukkan Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan IPB memililki cakupan ilmu yang luas dan tidak hanya mempelajari di bidang bangunannya saja.
6. Huruf S dengan sebuah keran air yang meneteskan air, gambar ini menyerupai sebuah pipa melengkung dengan keran air sebagai hilirnya. Hal ini melambangkan sub-departemen Teknik dan Sumberdaya Air. Huruf I dibuat menyerupai sebuah theodolit yang melambangkan sub-departemen Teknik Geomatika. Huruf L meyerupai sebuah bangunan berbentuk L dengan batu bata sebagai bahannya melambangkan sub-departemen Teknik Struktur dan Infrastruktur.
7. Gambar gelombang air yang berada di bawah huruf SIL menyerupai gelombang air permukaan, baik itu sungai, danau atau laut melambangkan sub-departemen Teknik Lingkungan.
8. Huruf SIL dan gelombang air dinaungi oleh sebuah konstruksi rumah yang belum selesai dan terdiri dari truss (atap) dan ditopang oleh dua kolom mempunyai arti bahwa ilmu-ilmu yang dipelajari di tiap sub-departemen berada dalam satu kesatuan, yaitu Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan. Himatesil sebagai himpro berusaha melengkapi dan menyempurnakan “konstruksi yang belum selesai” tersebut. Artinya, Himatesil berusaha melengkapi dan menyempurnakan ilmu-ilmu yang didapat dari perkuliahan dan digunakan secara bersama-sama sebagai sarana belajar alternatif bagi kepentingan mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan.
9. Lingkaran luar mempunyai dua arti. Pertama, lingkaran diberi tulisan “HIMATESIL” diatas dan “INSTITUT PERTANIAN BOGOR” sebagai identitas bahwa himpro ini bernama HIMATESIL dan berada dalam naungan Institut Pertanian Bogor. Arti kedua, lingkaran tersebut seolah-olah menaungi oktagonal (dimana isi dari oktagonal melambangkan ilmu dari tiap sub-departemen). Dalam lingkaran tersebut, tertulis “HIMATESIL” dan “INSTITUT PERTANIAN BOGOR”. Artinya, Himatesil sebagai himpro memusatkan kegiatan yang berhubungan dengan Teknik Sipil dan Lingkungan dan bekerja sama dengan IPB dalam memajukan ilmu di Bidang Teknik Sipil dan Lingkungan.
10. Dua buah oktagonal kecil di dalam lingkaran di sebelah kiri dan kanan merepresentasikan kepala paku keling kecil. Kedua oktagonal kecil ini berada di luar oktagonal utama mempunyai arti bahwa Himatesil tidak hanya memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan teknik sipil dan lingkungan di lingkar departemen dan lingkar kampus saja, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan teknik sipil dan lingkungan pada khususnya dan kegiatan lain pada umumnya di luar departemen dan di luar kampus.
Sumber: http://himatesil.ipb.ac.id/index.php/profil-himatesil.html
Langganan:
Postingan (Atom)